Peneliti dari BitDefender, produsen antivirus asal Romania menemukan sebuah malware, program jahat yang dapat merusak komputer. Malware yang disebut sebagai Trojan.PWS.ChromeInject.A masuk ke folder add-on milik browser Firefox. Menurut Viorel Canja, kepala lab Bit Defender, malware itu akan aktif ketika pengguna menjalankan Firefox.
Menurut berita yang dilansir PCWorld, 7 Desember 2008, malware itu menggunakan JavaScript untuk mengidentifikasi lebih dari seratus situs finansial dan pengiriman uang. Beberapa di antaranya adalah Barclays, Wachovia, Bank of America, dan PayPal serta puluhan bank asal Italia dan Spanyol. Ketika mengenali sebuah situs, malware akan mengumpulkan identitas login dan password lalu mengirimkan informasi itu ke sebuah server di Russia.
“Meningkatnya pengguna browser Firefox dibanding Internet Explorer sejak pemunculan perdananya empat tahun lalu mungkin merupakan alasan mengapa pembuat malware mengincar browser itu untuk masuk ke komputer,” kata Viorel Canja. “Pengguna yang terinfeksi trojan itu bisa saja mendapatkannya dengan cara mendownload-nya. Baik secara sengaja (ditipu) ataupun tidak sengaja (melalui lubang keamanan yang ada di browser).”
Ketika aktif di PC, trojan itu menyatakan dirinya sebagai file sistem milik Firefox yakni Greasemonkey. Greasemonkey sendiri merupakan koleksi dari script yang menambahkan fungsionalitas untuk situs web yang dibuka oleh Firefox.
BitDefender telah mengupdate produknya untuk mendeteksi trojan tersebut. Menurut Canja, produsen antivirus lainnya dalam waktu dekat ini tentu akan merilis update. Pengguna bisa mencegah serangan trojan tersebut dengan mengupdate software antivirusnya dan memastikan untuk tidak mendownload software apapun yang berbahaya atau mencurigakan.
• VIVAnews
Minggu, 29 Agustus 2010
Malware Incar Pengguna Firefox
Jumat, 27 Agustus 2010
chat facebook
Pada dasarnya, cara Hack Facebook Chat pada Chrome hampir sama dengan Firefox, hanya letak settingnya saja yang beda.
Pada Google Chrome, Hack Facebook Chat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut ;
1. Buka Google Chrome
2. Pada TAB baru masukkan alamat berikut ; http://www.facebook.com/presence/popout.php
3. Akan muncul halaman FACEBOOK CHAT. Halaman ini dapat kamu gunakan khusus untuk chatting facebook.
4. Setelah itu buka TAB baru untuk melakukan surfing / browsing halaman-halaman facebook atau situs lain yang ingin kamu kunjungi. Tanpa perlu menunggu loading page, kamu bisa tetap melakukan chat dengan teman-teman facebook-mu 3
Pada Google Chrome tidak dapat digunakan Bookmark Sidebar seperti di Firefox, jadi tidak bisa di buat 2 frame pada satu jendela.
Sabtu, 07 Agustus 2010
Sabang dan Pulau Weh Aceh
Negeri dengan predikat Serambi Aceh ini punya sederet lokasi wisata yang bisa dibanggakan. pantai-pantai indah dan wisata religi menjadi domain utama wisata Aceh. Belum lagi Pulau Weh yang belum banyak di eksplorasi orang.
Ekses konflik lokal yang pernah membelit Aceh telah berangsur sirna. Terpaan tsunami tahun 2004 pun telah lama usai. Kini bepergian ke Aceh, sama amannya dengan daerah lainnya di Indonesia. Wisatawan bisa mulai menyisipkan agenda wisatanya ke Aceh yang belum banyak diketahui orang.
Beranjak ke ibukota Banda Aceh, ada masjid kebanggaan masyarakat Aceh, Masjid raya Baiturrahman. Pada saat tsunami menerpa, masjid ini setempat terendah hingga 3 meter, namun tidak ada kerusakan yang berarti. Pantai Kota Banda Aceh juga menyajikan daya tarik tersendiri.
Masuk ke tengah Aceh, ada Danau Laut Tawar. tak jauh dari situ ada juga Taman Nasional Gunung Leuser yang menjadi tempat bermukim gajah dan harimau sumatera yang kian langka. Ada juga Benteng Indrapatra yang dibangun oleh kerajaan Lamuri, di abad ke -7, sebelum era kerajaan Islam di Aceh datang.
Satu lagi lokasi yang cukup menjanjikan adalah Pulau Weh. Pulau yang terletak di penghujung Sumatera ini memiliki pemandangan pantai yang indah dan koral-koral tepi pantai yang jernih. Bayangkan jika Anda berdiri di titik terluar Indonesia? menarik bukan?
http://aci.detik.com/read/2010/07/26/091324/1406363/952/aceh-dan-pulau-wehRead More...
Rabu, 04 Agustus 2010
Cewek Juga Bisa Rocker
“"The Runaways adalah band yang membuktikan betapa keliru anggapan bahwa perempuan seharusnya tak memainkan rock’n’roll."”
Ada Kristen Stewart dalam The Runaways, film gres garapan sutradara Floria Sigismondi. Tapi jangan buru-buru mengira Kristen memegang peran seperti yang dia lakoni dalam The Twilight Saga. Dan sebenarnya memang bukan itu yang penting, melainkan pesan filmnya, yang kebetulan serupa dengan Rush: Beyond the Lighted Stage, dokumenter tentang Rush, band besar dari Kanada yang hingga kini jauh dari sorotan media.
Film The Runaways baru saja dirilis versi DVD-nya. Menjadikan sepak terjang band rock perempuan The Runaways sebagai latar, film berdasarkan memoar Cherie Currie berjudul Neon Angel: A Memoar of a Runaway ini berkisah tentang hubungan antara dua personel band dari pertengahan 1970-an itu, yakni Joan Jett dan Cherie Currie. Joan, untuk yang belum tahu, biasa tampil tomboi dengan busana hitam berbahan kulit, di samping mencangklong Gibson Melody Maker putih; pada 1982, bersama The Blackhearts, dia melambungkan I Love Rock’n’Roll sebagai hit nomor satu. Menghidupkan karakter Joan inilah tugas Kristen.
The Runaways adalah band yang membuktikan betapa keliru anggapan bahwa perempuan seharusnya tak memainkan rock’n’roll. Dibentuk pada 1975 berdasarkan ide Joan yang didukung Kim Fowley, seorang impresario dan produser, band ini dalam salah satu formasinya terdiri atas Joan (gitar dan vokal), Cherie (vokal utama), Sandy West (drum), dan Lita Ford (gitar), dan Jackie Fox (bas). Tak mudah memulai sesuatu yang belum pernah ada dan apalagi mendobrak wilayah yang sudah telanjur didominasi laki-laki. Tapi mereka bisa.
“"....menurut tagline-nya, dokumentasi tentang 'band yang Anda kenal, kisah yang Anda tak tahu'"”
Di situlah justru, sebenarnya, poin yang lebih penting sebagai pelajaran. Dan Joan yang menjadi representasinya.
Menyukai musik sejak remaja, Joan sering menyelinap keluar malam untuk menonton konser yang ada di kotanya. Dia memperoleh gitar pertamanya pada usia 13 tahun. Ketika orang tuanya pindah ke pinggiran Los Angeles, Joan merasa kesempatannya menjadi lebih besar untuk mewujudkan impian menjadi musisi rock seperti idolanya, Suzi Quatro. Tekadnya kukuh.
Orang tua Joan berperan dalam membentuk karakter itu. “Ketika aku masih kanak-anak, orang tuaku bilang aku bisa menjadi apa saja yang aku mau. Dan aku memasukkannya ke dalam hati. Sungguh. Jadi aku tak akan membiarkan orang lain mendikte apa yang bisa atau tidak bisa kulakukan. Dan tentu saja aku tak akan membiarkan orang lain melarangku bermain musik rock’n’roll, atau bahwa aku tak boleh bermain gitar. Lupakan saja. Itu tak akan terjadi,” katanya kepada majalah Guitar World, Mei lalu.
Keteguhan tekad dan sikap tak mau didikte itulah yang berperan di balik pembentukan dan sukses (walau hanya sekitar empat tahun) The Runaways. Soal band itu yang akhirnya berkeping-keping, Joan mengaku sempat sangat terpukul dan yakin orang pasti mencemooh dengan berkata, “Kami sudah bilang pasti tak akan berhasil.” Tapi dia berhasil menguatkan diri lagi, mengatasi segala penolakan saat baru memulai bersolo karier, dan akhirnya mencapai sukses yang barangkali melampaui The Runaways sendiri.
Dengan sedikit variasi, Rush pun mendedahkan kisah yang mestinya sama pantas untuk bahan berkaca, juga teladan. Digarap oleh duet Sam Dunn dan Scot McFadyen, Rush: Beyond the Lighted Stage dibungkus sebagai, menurut tagline-nya, dokumentasi tentang “band yang Anda kenal, kisah yang Anda tak tahu”. Dalam 100 menit lebih sedikit durasinya memang begitulah adanya: banyak detail yang diungkap, yang sebelumnya barangkali orang, mereka yang mengaku penggemar, tahu hanya dari rumor, atau malah “gelap” sama sekali.
Dunn dan McFadyen sebenarnya membangun film yang dirilis April lalu itu dengan struktur sederhana saja. Alurnya biasa, kronologis. Mereka memulai dari pembentukan Rush pada 1968, masuknya Neil Peart menggantikan drummer John Rutsey, lalu meneropong lebih dekat periode-periode terpenting (ketika mereka memukau antara lain dengan La Villa Strangiato, Closer to the Heart, The Spirit of Radio, dan Tom Sawyer), sebelum kemudian memotret posisi band ini sekarang. Tapi cara mereka menyingkap kehidupan setiap personel, yang begitu multidimensi, sungguh membubuhkan elemen yang memikat bahkan bagi mereka yang tak fanatik menggemari Rush.
Misalnya kontras antara Geddy Lee (bas, vokal) dan Alex Lifeson (gitar, vokal), dua pendiri band yang tersisa, dan Neil. Geddy dan Alex tampak sebagai pribadi yang dengan senang hati menyapa penggemar, melayani permintaan tanda tangan, dan lain-lain. Sebaliknya, Neil, yang oleh Geddy disebut sebagai “orang baru kami”, cenderung mengeluhkan kenapa orang-orang meributkan keinginannya untuk tetap menjadi orang biasa. Walau demikian, perbedaan-perbedaan itu toh tak mempengaruhi hubungan di antara mereka.
Sesungguhnya dinamika itulah yang mengikat erat hubungan di antara mereka. Diakui atau tidak, pengungkapannya telah mentransformasikan film ini lebih dari sekadar narasi blak-blakan tentang Rush, band yang selalu menaruh kepedulian yang sama besarnya terhadap estetika bentuk dan isi lagu-lagunya. Di luar itu, kita akan merasakan pula adanya pengakuan mengenai cara yang tepat untuk tetap bersahaja di hadapan popularitas yang menjulang, untuk teguh pada pendirian dan orisinalitas, dan untuk bersikap persetan-apa-kata-orang.